Senja
dan Cinta di Losari
Oleh
Ilyas
Ibrahim Husain
Sebelumnya, mungkin kamu penasaran
siapakah diriku ini? atau mungkin kamu
tak memiliki segumpal rasa penasaran? Syahdan, itu tidak penting. Apakah kamu
ingin mengetahuiku atau tidak?! Tetapi yang terpenting kamu akan
mendengarkan sepenggal kisah yang
terjadi di Anjungan Pantai Losari. Sebuah kisah percintaan. Mungkin terdengar
klise, tapi begitulah cinta! Ciptaan tuhan yang sangat abstrak, kadang membawa
kisah manis, sekaligus membawa kisah lara.
Cerita itu bermula, ketika seorang
lelaki dari tanah seberang, bertandang ke Makassar. Baginya, perjalanan ke Makassar begitu mendebarkan dan
menegangkan. Betapa tidak! Karena baru pertama
kali sepanjang dua dasawarsa lebih sewindu dalam hidupnya menginjakkan kaki
di Tanah Para Daeng. Kaki jenjang lelaki itu telah menjejali berbagai sudut
Nusantara. Mulai dari Pulau We di ujung utara Sumatera, Banyuwangi di ujung
timur Pulau Jawa, hingga merasakan sensasi eksotisme Gunung Tambora—yang tahun 1815
memuntahkan isi perut bumi—di tanah Dompu, Sumbawa.
Ketika pertama kali menginjakkan
kaki di Makassar, lelaki itu sudah terkesima dengan suasana kota yang begitu
dinamis. Riuh nun nyaring deru mobil berlalu-lalang, suara knalpot bersenda
gurau dengan lengkingan klakson. Baginya, suara itu lebih indah dari Beethoven Symphony No.9 atau tak kalah megah dari alunan
nada Fur Elise. Dengan menggunakan
mobil sewaan—yang menghantarkan jiwa dan raganya menuju peristirahatan di
wisma—ia menjejali jalan beraspal, memerhatikan setiap lekuk tubuh kota yang
termanifestasi dalam bentuk hutan beton dan obralan senyuman dari pejalan kaki
di jalur pedestarian.
Sesaimpainya
di wisma dan menuju kamarnya. Lelaki itu kembali terkesima. Bukan karena lekuk
tubuh kota atau indahnya suara nyaring dari knalpot, klakson maupun deru mobil
atau kamar wisma yang tak kalah dengan hotel bintang tiga. Kali ini, ia
terkesima oleh jendela yang membingkai matahari terbenam di ufuk barat.
Sepasang bola matanya menjejali horison barat berbingkai jendela. Ada goresan
jingga bercampur warna keemasan, matahari yang mulai terbenam sebahagian,
perahu Pinisi yang mengembangkan layarnya, serta burung camar yang beterbangan
mengelilingi buritan maupun haluan perahu Pinisi tersebut. Seolah, bingkai
jendela di kamarnya seperti lukisan yang diberikan oleh tuhan. Namun, matanya
terbelalak! Tatkala lelaki itu mendapati sesosok bayangan gadis, yang duduk
termangu memandangi matahari yang terbenam. Memunggungi lelaki itu.
lelaki itu
dengan seksama memerhatikan gadis itu—tentunya melalui jendela
kamarnya—rambutnya bergelombang, menjuntai hingga menutupi sebahagian
punggungnya. Entah adaya magis apa, tetapi satu yang pasti lelaki itu merasakan
desiran dalam hatinya. Pun dirinya merasa ada dedar yang menerpa. Betapa tidak!
Gadis yang memandangi semburat senja losari itu sepertinya melontarkan daya
magis.
***
Keesokan
harinya, tatkala sang surya telah tergelincir ke arah barat. Dan perlahan-lahan
lazuardi berubah menjadi senja, lelaki itu mendapati gadis yang dilihatnya
kemarin duduk termangu memandangi semburat senja Pantai Losari. Lelaki itu
mendekati gadis itu, mencoba menyibak selimut tanya, yang menyelubungi hati dan
pikirannya.
Pada satu
posisi yang pas, lelaki itu memerhatikan gadis yang sedang khusyu menatap
semburat senja, lelaki itu terkesima. Ia mendapati matanya memotret ciptaan
tuhan yang begitu indah, sama indahnya dengan lukisan tuhan yang dilihatnya
dalam bingkai jendela kemarin sore.
Pada
sepersekian detik, lelaki itu bertemu pandang dengan gadis itu. Lelaki itu
terperenjat, seperti anak panah yang loncat dari busurnya, ada lontaran daya
magis yang melesat menohoki dadanya. Entah kenapa, lelaki itu merasakan
dentuman keras di hatinya. Pun dirinya merasakan dedar yang teramat sangat. Apkah ini cinta pada pandangan pertama? Lelaki itu membatin sembari
menatap lekat-lekat gadis itu, mungkin peristiwa yang dialaminya dinamakan
cinta pada pandangan pertama. Walaupun terdengar konyol atau klise, tetapi tidak
ada yang musyikil bagi tuhan. Jika sang penguasa jiwa dan hati telah
berkehendak. Maka jadilah!
Lelaki
itu kemudian meberanikan diri, mendekati gadis yang mungkin sedang asyik-masyuk
dengan pikiran dan senja yang dipandanginya itu. Kini, lelaki itu mengambil posisi duduk di
samping gadis itu—tentunya dengan mengambil sedikit jarak. Syahdan, lelaki itu
menjeling kemudian menangkap beningan mata gadis itu basah, ada tetesan air
yang luruh membasahi pipinya. Lantas, dengan penuh kesopanan lelaki itu
menjulurkan tangan lalu memberikan sapu tangan. Bagai gayung bersambut, gadis
itu meraih tangan lelaki itu menerima pemberian. Di sekanya air matanya yang
telah luruh, ia sedikit sesunggukan.
Sekira
satu pancawarsa dalam satuan menit, lelaki itu menunggu, kemudian gadis itu
mengembalikan sapu tangan pemberian lelaki itu. Tak lupa pula ia mengumbar
senyum dan ucapan terimahkasih. Lelaki itu membalas ucapan terimahkasih dan
umbaran senyum dengan memamerkan kedua lesung pipitnya. Lalu, lelaki itu—tentunya
dengan penuh kesopanan—kemudian menanyakan ihwal mengapa gadis itu menitihkan
air mata. Gadis itu sedikit menghela nafas, memerhatikan sejenak lelaki itu, lalu
pandangannya menuding ke laut, memerhatikan seksama goresan tuhan pada horison
barat yang bewarna jingga.
Ada
sedikt keraguan yang terpancarkan dari roman wajah gadis itu. Apakah harus
membagi kisah kepada lelaki yang baru ditemuinya? Ataukah memendam rasa dan
membiarkan suasana tetap hening. Hanya desiran angin senja dan nyanyian burung
camar yang menemani. Sekitar sepuluh menit gadis itu menimbang-nimbang, hingga
memutuskan untuk membagi kisahnya—atau lebih tepatnya membagi kesedihan. Setidaknya, dengan berbagi cerita sedikit
menjadi pelipur lara. Gumam gadis itu.
***
Gadis itu memulai kisahnya ketika
umurnya menginjak pancawarsa kelima. Saat itu, di lego-lego—beranda—rumahnya, ia menerima kunjungan resmi kekasihnya,
sebuah lawatan diplomatik tingkat tinggi yang mempertemukan kedua keluarga.
Kekasih gadis itu melamarnya dengan mahar yang sesuai kemampuan dan dengan
kesepakatan bersama. Agar kedua keluarga yang berbahagia itu mencapai inninnawa madeceng—perasaan yang senang
nun tentram. Singkat kata, semua persiapan pernikahan telah mantap, undangan
pernikahan telah siap disebarkan—secarik kertas yang mewartakan kebahagiaan dua
anak manusia yang akan bersanding di pelaminan. Di dalam undangan itu; berltar
semburat senja Pantai Losari yang begitu indah nun senduh, terpampang wajah
gadis itu yang sedang mengumbar senyuman kebahagiaan dan tatapan yang sendu
pada kekasihnya. Lelaki tampan yang
telah membuatnya jatuh cinta, membuat hatinya tertautkan pada lelaki itu. Lelaki
yang menjadi cinta pertama dan mungkin terakhir untuknya. Lelaki yang akan
menjadi imam dalam keluarganya.
Namun jauh
panggang dari api, semua sirna, sepekan sebelum mereka bersanding, kekasih dari
gadis itu berpulang ke sang pencipta. Kekasih gadis itu ditemukan tergeletak di
tangga lantai apartemennya. Ia bersimbah darah, menurut penyidikan polisi,
kekasihnya meninggal karena ada dua luka tembakan yang bersarang di jantung dan
hatinya. Desas-desus yang terbawa angin dan diwartakan dari mulut ke mulut para
penghuni apartemen, kekasih gadis itu mendapati seorang pria yang mencurigakan,
tangan kanannya menjenjeng tas laptop. Sebuah tas yang begitu dikenali kekasih
gadis itu. Tas bewarna cokelat pemberian gadis berambut bergelombang dengan
beningan mata yang indah. Sontak, kekasih gadis itu meneriaki pria mencurigakan
itu, lalu dikerjarnya. Pada posisi terjepit di tangga apartemen, pria
mencurigakan itu memuntahkan dua timah panas melalui moncong pistolnya. Dua
butir timah panas bersarang di jantung dan hati kekasih gadis itu.
***
Gadis
itu menangis tersedu-sedu mengingat kejadian tragis yang menimpa dirinya, dan
kekasihnya. Di hadapan pria yang baru
dikenalinya. Lelaki itu hanya menghela nafas panjang, lalu mengelus-ngelus
pundak gadis itu sembari memberikan kata-kata penyemangat dan ucapan ikut
bersimpatik. Gadis itu hanya mengangguk dan mengucapkan terimahkasih. Lelaki
itu kemudian memberikan kembali sapu tangan agar gadis itu menyeka air matanya
yang tumpah ruah. Sejenak ada keheningan yang menerpa mereka berdua. Tenggelam
pada pikriannya masing-masing. Bersama senja dan cinta di ujung pandangan,
menatap lekat-lekat matahari yang terbenam.
***
Syahdan,
begitulah kisah itu dan memang demikiannlah yang terjadi. Cinta selalu membawa
kisah manis dan juga membawa kisah sedih. Tetapi ketahuilah, sesunguhnya engkau
beruntung, diriku berkenan membagi kisah ini. Sebuah kisah yang harus
kukorbankan dengan dua butir peluru yang bersarang di hati dan jantungku.
Sungguminasa,
Batang Kaluku. 23-24 Desember 2016.
Comments
Post a Comment