Sumber : [3/10, 03:35] +62 838-2951-5899: Sejarah Sastra Indonesia
(1/2)
============================================
Dalam Pengantar Ilmu Sastra (Luxemburg, 1982:200-212)
dijelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran,
jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat
dihubungkan dengan perkembangan di luar bidang sastra seperti sosial dan
filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam
arus sejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para ahli sastra di Eropa
terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian ilmuwan
pada zaman Romantuik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa lampau suatu
bangsa. Adapun dasarnya adalah filsafat positivisme yang bertolak pada
prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat
dilacak kembali. Dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau
ditelaah secara tuntas apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada
riwayat hidup pengarang dan zaman yang melingkunginya.
Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut
adalah Hypolite Taine (1828-1893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang
pengarang dipengaruhi oleh ras, lingkungan, dan momen atau saat. Ras ialah apa
yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya, lingkungan meliputi keadaan alam
dan sosial, sedangkan momen ialah situasi sosio-pulitik pada zaman tertentu.
Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan baik maka dimungkinkan simpulan
mengenai iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta
karyanya.
Ahli sejarah sastra Jerman, Wilhelm Scherer (1841-1886)
mempergunakan tiga faktor penentu, yaitu das Ererbte (warisan), das Erlebte
(pengalaman), dan das Erlernte (hasil proses belajar). Penerapannya menuntut
kerja sama yang erat antara ahli fisiologi, psikologi, linguistic, dan sejarah
kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang penulis sejarah sastra harus mampu
menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani maupun rohani, dalam kebertautan
yang kausal.
Sedangkan sastra menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
adalah "bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab
(bukan bahasa sehari-hari)". Sedangkan karya sastra berarti karangan yang
mengacu pada nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra
memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun
intelektual, dengan caranya yang khas.
Jadi, secara sederhana sejarah sastra dapat diartikan
sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan sastra suatu bangsa. Dalam hal ini kita akan membahas tentang
Sejarah Sastra Indonesia. Yakni pertumbuhan dan perkembangan sastra di
Indonesia. Kata Indonesia sendiri merujuk pada suatu bangsa atau negara kepulauan
yang merdeka pada 17 Agustus 1945.
Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah
sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan
perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu
bisa menyangkut karya sastra, pengarang, pengajaran, penerbit, kritik, dan
lain-lain.
1. Awal Mula Lahirnya Sastra Indonesia
Umar Yunus berpendapat, sastra ada sesudah bahasa ada.
Misalkan, "sastra X ada sesudah bahasa X ada". Karena bahasa
Indonesia baru lahir saat adanya sumpah pemuda pada tahun 1928, maka Umar Yunus
berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia baru lahir pada tanggal 28 Oktober
1928. Sehingga menurutnya, karya sastra yang terbit sebelum tahun 1928 dianggap
bukan digolongkan sebagai hasil satra Indonesia. Melainkan sebagai hasil karya
Sastra Melayu saja.
Sedangkan Ajip Rosidi, mempunyai pendapat yang berbeda.
Menurutnya, bahasa tidak bisa dijadikan patokan sebagai kapan sastra itu lahir.
Karena, sebelum bahasa diakui secara resmi tentulah bahasa itu sudah ada dan
sudah digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut. Sehingga Ajip Rosidi
berpendapat, yang seharusnya dijadikan patokan adalah kesadaran kebangsaan.
Berdasarkan kesadaran kebangsaan inilah Ajip menetapkan lahirnya kasusastraan Indonesia
itu tahun 1920/1921 atau tahun 1922. Karena pada waktu itu pemuda Indonesia
seperti Sanusi Pane, Muhammad Yamin dan lain-lainnya menegaskan, bahasa
Indonesia itu berbeda dengan Sastra Melayu.
Pendapat berikutnya yaitu dari A.Teeuw. Ia memiliki pendapat
yang berbeda dari dua tokoh diatas. Akan tetapi, tahun lahirnya Sastra
Indonesia hampir sama dengan Ajip Rosidi yaitu tahun 1920. Menurutnya, pada
waktu itu para pemuda Indonesia untuk pertama kali menyatakan perasaan dan ide
yang terdapat pada masyarakat tradisional setempat dan menuangkannya dalam
bentuk sastra. Selain itu, pada tahun yang sama para pemuda juga menulis puisi
baru Indonesia. Lalu A. Teeuw menegaskan pendapat lahirnya kesusastraan
Indonesia pada tahun 1920 karena pada tahun ini terbit novel Mirari Siregar
yang berjudul Azab dan Sensara.
2. Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah
diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969).
Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia
sebagai berikut:
A. Masa Kelahiran
mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi
menjadi beberapa periode, yaitu:
Periode awal hingga 1933
Periode 1933-1942
Periode 1942-1945
B. Masa Perkembangan
mencakup kurun waktu 1945-1968 yang dapat dibagi menjadi
beberapa periode, yaitu:
Periode 1945-1953.
Periode 1953-1961.
Periode 1961-1968.
Menurut Ajip Rosidi, warna yang menonjol pada periode awal
(1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapai akulturasi sehingga
menimbulkan berbagai masalah bagi kelangsungan eksistensi masing-masing daerah.
Sedangkan periode 1933-1942 diwarnai dengan pencarian tempat di tengah
pertarungan antara kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantic-idealis.
Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa
pendudukan Jepang yang melahirkan warna kegelisahan, pelarian, dan peralihan.
Sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia
tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri
sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada
periode 1953-1961. Sedangkan, pada periode 1961-1968 yang tampak menonjol
adalah warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan
sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan
pengucapan sastra.
Pada kenyataanya, telah tercatat lima angkatan yang muncul
pada rentang waktu 10 -15 tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah
sastra Indonesia modern sebagai berikut:
Sastra Awal (1900an )
Sastra Balai Pustaka (1920 - 1942)
Sastra Pujangga Baru (1930 - 1942)
Sastra Angkatan 45 (1942 - 1955)
Sastra Generasi Kisah (1955 - 1965)
Sastra Generasi Horison (1966)
Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia menurut Jakob Sumardjo
didasarkan pada nama badan penerbitan yang menyiarkan karya para sastrawan.
Seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Kisah, majalah Pujangga Baru dan
majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun revolusi Indonesia.
Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan H.B. Jassin dengan merujuk pada
gerakan politik yang penting di Indonesia sekitar tahun 1966.
Penulisan sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dengan
dua cara atau metode, yaitu:
menerapkan teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra
dari periode atau angkatan ke angkatan. dan
menerapkan teori estetika resepsi atau estetika tanggapan
Di samping itu, sejarah sastra Indonesia dapat juga
dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Sinkronis berarti penulisan sejarah
sastra dalam salah satu tingkat perkembangan atau periodenya. Sedangkan yang
diakronis berarti penulisan sejarah dalam berbagai tingkat perkembangan, dari
kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir.
Dari pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan periodisasi
sastra sebagai berikut:
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 1945
Angkatan 1950-an
Angkatan 1960-an
Angkatan kontemporer (1970-an sampai sekarang).
Sumber [3/10, 03:35] +62 838-2951-5899: Sejarah Sastra Indonesia
(2/2)
=============================================
Berikut adalah penjelasan singkat tentang angkatan-angkatan
yang terdapat dalam periodisasi Sejarah Kesusastraan Indonesia:
a. Angkatan Balai Pustaka
Nama penerbit Balai Pustaka sudah tidak asing bagi
masyarakat terpelajar Indonesia. Karena sampai sekarang Balai Pustaka merupakan
salah satu penerbit besar yang banyak memproduksi berbagai jenis buku. Nama
tersebut telah bertahan hampir 100 tahun, kalau dihitung dari berdirinya pada
tahun 1917 yang merupakan pengukuhan komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan
Rakyat (commissie voor de inlandsche school en volkslectuur) yang didirikan
oleh pemerintah kolonial Belanda pada 14 september 1908. Penerbit Balai Pustaka
adalah bagian pemerintah kolonial yang semangatnya boleh dikatakan
berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata bervisi
komersial maupun bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang
panjang itu maka sepantasnya menjadi bagian khusus dalam pengkajian atau telaah
sejarah sastra Indonesia.
Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapat
diungkapkan dari Balai Pustaka selama ini. Antara lain visi dan misi, status,
program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi, pengarang, distribusi, dan
produksi. Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian sejarah mikro yang
pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia. Ditambah dengan pengkajian
berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah memperluas wawasan
pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai
pustaka ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi
sastra modern, atau justru dilupakan saja karena berjejak kolonial.
Ciri-ciri umum roman angkatan Balai Pustaka:
Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan
mempersoalkan masalah polotik, watak, agama, dan lain-lain.
Bergaya bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi Balai
Pustaka, sehingga gaya bahasanya tidak berkembang.
Bersifat romantic-sentimental, karena ternyata banyak roman
yang mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa.
Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang
hanya berlaku di daerah tertentu, seperti adat di Sumatra Barat.
b. Angkatan Pujangga Baru
Pujangga Baru timbul sebagai reaksi atas banyaknya sensor
yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa
tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut kesadaran kebangsaan
dan rasa nasionalisme. Sastra Pujangga Baru merupakan sastra intelektual,
nasionalistis dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang
dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Armijn Pane dan Amir Hamzah.
Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942),
dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi
salah satu novel yang kerap diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain
Layar Terkembang, pada periode ini novel "Kalau Tak Untung" dan
"Tenggelamnya Kapal van der Wijck" menjadi karya penting sebelum
perang.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang
dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Rustam Effendi dan Armijn Pane.
Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh
Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
c. Angkatan '45
Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia
Angkatan ‘45 bisa dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru
Indonesia, setelah angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya
karya-karya sastra Angkatan ‘45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi
warna baru pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang
berpendapat bahwa sastra Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil
Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti St.Takdir Alisjahbana,
Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra
Melayu.
Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama, ada
yang menyebut Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil
Anwar, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini
dengan nama Angkatan ‘45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh
semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi
dan landasan ideal angkatan ini belum dirumuskan. Baru pada tahun 1950
"Surat Kepercayaan Gelanggang" dibuat dan diumumkan.
Chairil Anwar - Sejarah Kesusastraan Indonesia
Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan
itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan
“Selayang Seniman Merdeka”. Masa Chairil Anwar masih hidup. Angkatan ‘45 lebih
realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik.
Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45 tercermin
dari sebagian besar karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan tersebut.
Beberapa karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan.
Banyak pula di antaranya yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya
Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya dengan keprofesionalannya masih eksis
menghasilkan karya-karya terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi
khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu banyak orang yang memproklamasikan
kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ‘45, sebanyak itu pulalah yang
menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini hanyalah lanjutan
belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan
Pujangga Baru.
d. Angkatan 1950-an
Slamet Muljono pernah menyebut bahwa sastrawan Angkatan ‘50
hanyalah pelanjut (successor) saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan
yang mendalam dan menyeluruh membuktikan bahwa masa ini pun memperlihatkan
ciri-cirinya, yaitu:
Masa ‘50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang
terakhir dicapai nasional lebih lanjut). Periode ‘50 tidak hanya pengekor
(epigon) dari angkatan ‘45, melainkan merupakan survival, setelah melalui
masa-masa kegonjangan.
Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan
(tradisi) yang diletakan pada tahun 1945.
Adapun ciri-cirinya yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan
kepada kekuasaan asing, tetapi lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara
ilmu dan pengetahuan asing dengan perasaan dan ukuran nasional.
Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap
kebudayaan daerah dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
Pusat kegiatan sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas
daerahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan
Yogyakarta.
e. Angkatan 1960-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra
Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya
sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, antara lain
munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd,
dan lain-lain pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat
banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini.
Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini
seperti Purnawan Tjondronegoro, Motinggo Busye, Djamil Suherman, Goenawan
Mohamad, Bur Rasuanto, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip Soeprobo dan
termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Selain itu beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain:
Ikranegara, Umar Kayam, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Arief Budiman, Darmanto
Jatman, Goenawan Mohamad, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing
Kardjo, Budi Darma, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
f. Angkatan 1970-an
Tahun 1960-an adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia
perpuisian Indonesia. Tahun 1963 sampai 1965 yang berjaya adalah para penyair
anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Karya Sastra sekitar tahun 1966
lazim disebut angkatan ‘66. H.B. Jassin menyebut bahwa pelopor angkatan ‘66 ini
adalah penyair-penyair demonstran, seperti Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail,
Slamet Kirnanto, Mansur Samin, dan sebagainya. Tahun 1976 muncul puisi-puisi
Sutardji Calzoum Bachri yang menjadi cakrawala baru dalam dunia perpuisian
Indonesia.
Comments
Post a Comment